Hadirku Sebagai Saksi

Saksi

Image via Wikipedia

Hello guys! udah lama gak posting di blog cacat ini-_-sorry. maklum, sibuk sama rasa ngantuk gue *tabok* Oh iya, gue dapet tugas dari guru Bahasa Indonesia, disuruh buat CEPREN berdasarkan pengalaman pribadi. daripada cuma guru dan 1 dari 10 org yg baca cerpen ABSURD gue, mending gue post di sini. sorry banget kalau gak jelas, jelek, gak karuan. ane masih newbie gan! ane juga masih butuh banyak banget-bangetan masukan atau saran-_- ready? this is it!

___________________________________________________

Referensi cerita : pengalaman pribadi, ilmu majas, sinonim, KBBI

———————————————————————————————————————————————————————-

Hadirku Sebagai Saksi

(Nizar Suryantara Widodo)

                Oktober 2005, suasana kelas tampak sepi dan sunyi. Suara pelan itu terdengar di telingaku. Ya, saat itu kami belajar di laboratorium bahasa Inggris, dengan alat layaknya pegawai kantor telekomunikasi, kami mendengarkan apa yang Pak Hadi ucapkan dan menuliskannya pada sehelai kertas.

“ Eh, si Gemblung kemana? ” tanya Fauzan kepada Naufal dengan suara khasnya yang tiada duanya!

“ Nggak tau ” jawabnya.

Percakapan mereka terdengar olehku. Sudah hampir satu jam pelajaran si Gemblung (sapaan Adi) belum juga kelihatan batang hidungnya. Perawakannya yang gendut, hitam, belum tinggi. Juga perangainya yang bandel, penurut, sedikit bodoh, mungkin menjadi sebab ia diledek seperti itu. Tak tahu pasti aku.

***

                Ketika suasana mulai gaduh, seseorang masuk ke ruangan tersebut. Ibu Fatmawanti, wali kelas kami. Dalam hitungan dua kedipan mata, suasana ruangan dibuat mati olehnya. Setelah sedikit berbincang dengan Pak Hadi, sosok cantik itu menanyakan perihal kepada kami.

Anak-anak, apa ada yang tahu, apa yang terjadi kepada Adi? Keadaan dia sekarang sedang sakit, badannya panas. Dia dirawat di rumah sakit. Adakah di antara kalian yang menjadi saksi atas kejadian yang menimpa Adi? ”

Suara-suara kecil terlontar dari bibir kawan-kawanku, namun, aku hanya diam tak bersuara. Mencoba mengingat kembali apa yang sebelumnya terjadi. Tak lama, aku pun ingat, dan kukatakan kepada Bu Fatma bahwa aku mengetahuinya!

“ Mari, ikut Ibu keluar ” aku hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya. “ Bisakah kamu menceritakan kepada Ibu? ” tanyanya dengan wajah serius. Aku tertunduk.

“ Yang saya lihat, Adi, Fathur dan A’an lagi bercanda ” jawabku polos. “ Fathur megang penggaris besi dan memukulnya beberapa kali ke punggung Adi sambil ketawa gitu, tapi Adi juga cuma nyengir “ memang, sesekali Adi merintih dan menolak besi itu mendarat di punggungnya. “ Adi juga masih seperti biasanya, ngga ada tanda-tanda dia langsung sakit. Pas pelajaran Bahasa Inggris, saya ngga lihat dia lagi ” tambahku.

“ Baiklah, sekarang ambil barang-barangmu dan kita pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Adi. Kamu boleh ajak salah satu temanmu juga sebagai saksi. Ada? “

“ Ada, Bu. David. ” saat itu juga kami berangkat ke Rumah Sakit Angkatan Laut Surabaya. Cukup jauh memang dari sekolahku, di Sidoarjo. Kami bertolak dari sekolah pukul 13:00 bersama dua guru yang lain. Cuaca di kota Adipura begitu terik, namun masih sedikit lebih beruntung daripada Jakarta, yang dimana-mana macet! Semoga saja teriknya si Raja Siang ini tidak sama dengan kondisi Adi sekarang.

***

Kami tiba di Rumah Sakit, disambut oleh bau khasnya Rumah Sakit ketika kami memasuki ruangan. Bergegas menuju ruangan Adi. Kulihat ada beberapa keluarga Adi disitu, tak terkecuali Ibunya.

“ Assalamu’alaikum ”

“ Wa’alaikumsalam ” sahut keluarga Adi.

Kembali kulihat di ruangan itu, wajah Adi yang lemas, pucat, matanya terpejam seolah tidak tahu akan kehadiranku, David dan guru-guru. Saat keluarga dan para guru sedang berbincang-bincang, terdengar namaku disebut. Bu Fatma mempersilahkan aku untuk memberikan keterangan kepada Ibunya Adi. Apa yang aku sampaikan sebelumnya, kukatakan kembali. Ibunya Adi hanya menggangguk dan mengalihkan pandangannya ke ranjang anaknya yang terlihat masih tergolek lemas.

***

                Detik berganti menit, menit berubah menjadi jam, jam beralih ke hari. Kuayunkan pedal sepedaku menuju sekolah. Pikiranku kusut bagai pakaian yang tak pernah disentuh oleh hangatnya setrika.

Kulangkahkan sepasang kaki ini menuju ruang kelas. Dan, benar saja dugaanku, bertubi-tubi pertanyaan menyerangku, bahkan ejekan. Pikiranku makin tak tertata, seolah-olah pakaian yang tadi kusut makin ‘absurd’ setelah terinjak-injak! Namun aku tidak menggubris mereka.

Setelah aku berhasil menenangkan diri di kursi, kutatap teman-temanku, mereka juga memandangiku penuh keheranan sekaligus kekhawatiran. Kecuali Fathur dan A’an, mereka nampak jauh dari tempatku.

“Adi ngga apa-apa kan?” Tanya salah satu dari segerombolan temanku tadi.

“Dia baik-baik saja, hanya butuh waktu untuk istirahat. Kita doakan saja” jawabku sambil tersenyum berusaha meyakinkan kepada mereka.

Sela beberapa menit, Aku mendekati Fathur dan A’an dan kukatakan “Adi baik-baik aja. Aku tau kenapa tadi kamu enggan mendekatiku. Aku juga ingin minta maaf karena melibatkan kamu dalam peristiwa ini, tapi itulah yang Aku lihat. Tenang saja, masalah ini tidak akan berkepenjangan” mereka pun tersenyum

Sudah 3 hari Adi tak kunjung hadir ke sekolah. Malam itu, udara dingin menusuk kulitku. Aku putuskan untuk melaksanakan ibadah sholat Isya’. Setelahnya, aku berdo’a kepada Sang Pemilik Alam Semesta agar kesehatan Adi dapat segera pulih kembali, dan mengobati rasa kangen Aku dan kawan-kawan. Aku juga sadar, hadirku sebagai saksi dalam peristiwa ini hanyalah setetes air dalam luasnya samudra.

————————————————Tamat————————————————

Pembaca yang baik selalu meninggalkan jejak * berupa komentar atau sekedar rate 🙂 *

8 komentar di “Hadirku Sebagai Saksi

Tinggalkan komentar